Surabaya, newrespublika – Komisi B DPRD Kota Surabaya menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Hiswana Migas Surabaya pada Senin (28/7).
Rapat tersebut membahas keluhan pelaku usaha Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) terkait tagihan pajak reklame yang dinilai memberatkan dan tidak sesuai
Wakil Ketua Komisi B DPRD Surabaya, Mochamad Machmud, mengungkapkan bahwa para pengusaha SPBU menerima tagihan pajak reklame tambahan dari Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya dengan nominal yang mencapai lima kali lipat dari nilai awal.
Padahal, menurutnya, objek reklame yang dikenai pajak tidak semestinya masuk dalam kategori reklame yang dikenai pungutan.
“Kami mendengar keluhan ini luar biasa. Tagihan pajak susulan dari pemkot bisa mencapai 500 persen. Padahal, yang dikenai pajak justru bukan objek reklame sesuai ketentuan. Ini sangat merugikan pelaku usaha,” ujar Machmud.
Ia mencontohkan, papan nama atau resplang SPBU yang berada di berbagai sisi—depan, samping, bahkan belakang—semuanya dikenai pajak, padahal secara logika tidak semua sisi tersebut memiliki nilai komersial atau menarik perhatian publik.
“Yang di belakang siapa yang lihat? Tapi tetap dikenai pajak. Ini tidak adil,” tegasnya.
Lebih lanjut, Machmud menyebutkan banyak pengusaha sebenarnya sudah memenuhi kewajiban pajaknya. Namun, mereka tetap mendapat tagihan tambahan akibat kesalahan perhitungan dari pihak Pemkot.
“Kesalahannya di Pemkot, tapi yang menjadi korban adalah pengusaha. Mereka sudah bayar, tapi masih dikasih tanda silang seolah tidak taat pajak,” ujar legislator dari Partai Demokrat itu.
Ia menyayangkan sikap Pemkot yang dinilai kurang komunikatif dan langsung memberikan tanda silang tanpa klarifikasi terlebih dahulu.
“Seharusnya dilakukan komunikasi yang baik, bukan langsung menyilang tagihan. Ini menyudutkan pelaku usaha,” tambahnya.
Machmud juga menyoroti ketidakkonsistenan dalam implementasi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Menurutnya, definisi reklame dalam perda tersebut identik dengan yang berlaku di DKI Jakarta, namun penerapannya berbeda jauh.
“Di Jakarta, yang dikenai pajak hanya tulisan ‘Pertamina’ di resplang. Tapi di Surabaya, semua sisi dikenai pajak. Padahal kata-katanya sama persis,” jelasnya.
Komisi B DPRD Surabaya mendesak Pemkot untuk meninjau kembali kebijakan pajak reklame, terutama terkait penerapan terhadap properti non-komersial seperti resplang SPBU, guna menciptakan iklim usaha yang sehat dan adil di Kota Pahlawan. (trs)