Surabaya, newrespublika – Aset milik Pemerintah Kota Surabaya yang berada di Jalan Kebraon Gang V, Kelurahan Kebraon, Kecamatan Karang Pilang, menjadi sorotan DPRD Kota Surabaya.
Wakil rakyat mendesak agar pemanfaatan lahan tersebut dikhususkan untuk pemberdayaan warga lokal, bukan dimonopoli oleh pengembang perumahan di sekitarnya.
Hal ini ditegaskan oleh anggota Komisi B DPRD Kota Surabaya dari Fraksi Gerindra, Bagas Iman Waluyo, usai melakukan peninjauan langsung dan rapat koordinasi dengan Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD).
Lahan yang dimaksud memiliki luas sekitar 10 x 70 meter persegi dan selama lebih dari 15 tahun digunakan oleh pedagang kaki lima (PKL) sebelum akhirnya direlokasi ke Sentra Wisata Kuliner (SWK) Panggon Mangan, yang lokasinya tak jauh dari situ.
“Saat rapat dengan BPKAD, terungkap bahwa lahan itu rencananya akan dijadikan Ruang Terbuka Hijau (RTH) atau taman. Tapi warga justru khawatir taman itu nantinya akan lebih banyak dinikmati oleh penghuni perumahan yang berada persis di belakang lokasi aset,” ujar Bagas Iman Waluyo di Surabaya, Senin (12/9/2025).
Bagas menerangkan, rencana pembangunan taman memang terdengar positif dari sisi tata kota. Namun kekhawatiran warga tak bisa diabaikan. Mereka khawatir taman justru menjadi fasilitas eksklusif bagi perumahan sekitar yang diduga sudah mengincar pemanfaatan kawasan tersebut.
“Warga Kebraon dan Karang Pilang cemas taman itu akan jadi ‘halaman belakang’ perumahan elit, bukan untuk publik. Ini jadi perhatian serius kami di dewan,” tegas politisi muda dari Partai Gerindra itu.
Berdasarkan kajian zonasi, lahan tersebut masuk dalam zona jasa dan perdagangan, yang artinya berpotensi dikembangkan untuk kegiatan produktif sesuai kebutuhan masyarakat setempat.
Sejumlah usulan pun mulai muncul dari warga, seperti : Usaha jasa cuci motor dan mobil, Fasilitas olahraga seperti lapangan futsal atau bulu tangkis, Pembangunan Balai RW, mengingat beberapa RW di Kebraon masih belum memiliki tempat pertemuan warga.
“Warga menolak dijadikan pusat kuliner karena sudah ada SWK. Mereka lebih setuju jika digunakan untuk usaha jasa atau fasilitas sosial yang bisa dinikmati bersama,” jelas Bagas.
Bagas juga menyampaikan bahwa berdasarkan informasi yang diterimanya, selama ini pengguna lahan justru banyak berasal dari luar Kebraon, bahkan luar Surabaya. Hal ini memperkuat alasan mengapa lahan tersebut harus benar-benar difokuskan untuk warga lokal.
“Kalau aset ini dikelola untuk warga luar, lalu manfaatnya apa untuk masyarakat sekitar? Kami minta lurah, camat, dan BPKAD benar-benar menyerap aspirasi warga sebelum menentukan kebijakan,” katanya.
Ia menegaskan bahwa prinsip utama dalam pengelolaan aset daerah adalah keseimbangan antara tata kelola aset yang baik dan keadilan sosial bagi masyarakat sekitar.
“Aset Pemkot adalah milik rakyat. Maka harus digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan warga, bukan dikuasai segelintir pihak,” pungkas Bagas. (trs)
