DPRD Surabaya Ungkap Sejarah Kelam Eigendoms Verponding

DPRD Surabaya Ungkap Sejarah Kelam Eigendoms Verponding

Surabaya, newrespublika-Polemik berkepanjangan terkait status surat ijo di Surabaya kembali memuncak dan memasuki babak krusial.

Anggota DPRD Kota Surabaya dari Fraksi PDI Perjuangan, Baktiono, memberikan penjelasan mendalam mengenai akar sejarah, status hukum, serta berbagai dinamika politik yang membuat penyelesaian surat ijo terus tertunda.

Baktiono menerangkan, perjalanan panjang yang dimulai sejak era kolonial hingga reformasi. Menurut Baktiono, sumber pendapatan asli daerah pada masa lalu membuat pemerintah kota mengandalkan skema sewa atas lahan-lahan yang kini dikenal sebagai surat ijo.

“Banyak warga generasi terdahulu tidak memahami perbedaan antara sertifikat kepemilikan dan dokumen sewa. Warga zaman dahulu itu tidak mengerti soal surat tanah yang mereka tahu itu sertifikat. Akhirnya dikeluarkanlah sewa sejak tahun 70-an,” ujar Baktiono di Surabaya, Rabu (10/12/2025).

Ia menjelaskan, beberapa kawasan seperti Tambak Segaran Wetan, Tambak Segaran, Tambak Rejol, Tambak Bening, Undaan, dan Ngagel merupakan wilayah yang sejak awal berada dalam sistem sewa.

Masyarakat yang melihat istilah eigendoms verponding mengira bahwa dokumen itu dapat dikonversi menjadi hak milik. Padahal, jelas Baktiono, tidak semua eigendom memiliki status yang sama.

“Ada eigendoms geminte yang sejak zaman Belanda merupakan milik pemerintah, dan ada pula eigendoms verponding yang sebenarnya hak rakyat,”terang Baktiono.

Ia manambahkan, kesalahpahaman itu semakin menumpuk ketika seluruh aset daerah diwajibkan untuk didaftarkan ke pemerintah pusat pada tahun 2008. Pemerintah Kota Surabaya memasukkan seluruh lahan tersebut ke dalam Sistem Informasi Manajemen Barang Daerah (SIMBADA) tanpa memilah mana tanah yang berstatus hak rakyat dan mana yang merupakan aset pemerintah.

Menurut Baktiono, inilah titik krusial yang membuat sengketa tata kelola lahan tersebut mengeras hingga kini. Upaya pelepasan surat ijo sebenarnya pernah mendekati realisasi, terutama pada era Wali Kota Bambang DH yang membentuk panitia khusus untuk menangani pelepasan lahan dengan batas maksimal 250 meter persegi.

Namun, kata Baktiono, kebijakan itu kandas setelah mayoritas anggota Komisi D DPRD menolak dalam voting. Sudah mau dilepas waktu itu, tapi batal lagi.

Baktiono juga menyoroti bahwa sejumlah gugatan warga kepada pemerintah kota berakhir dengan kekalahan masyarakat. Putusan-putusan itu kemudian menjadi yurisprudensi yang dijadikan rujukan untuk kasus serupa, sehingga semakin menyulitkan perjuangan warga yang berharap mendapat pengakuan atas tanah yang telah mereka tempati selama puluhan tahun.

Dengan wacana pembentukan Pansus oleh DPR RI, polemik surat ijo kini memasuki fase yang menentukan. Warga menunggu kepastian yang tidak kunjung datang, sementara konflik regulasi, sejarah kepemilikan, hingga tarik-menarik kepentingan politik terus menjadi hambatan.

“Di tengah sorotan publik, penyelesaian komprehensif menjadi kebutuhan mendesak agar hubungan negara dan rakyat tidak terus terkoyak oleh persoalan agraria yang tak kunjung usai,”pungkas Baktiono. (trs)