Jelang HUT RI Ke 80 Bansos Beras Lansia dan Disabilitas Dicoret

Jelang HUT RI Ke 80 Bansos Beras Lansia dan Disabilitas Dicoret

Surabaya, newrespublika – Di tengah gegap gempita HUT ke-80 RI dengan tema “Bersatu Berdaulat Rakyat Sejahtera Indonesia Maju”, kabar miris datang dari warga Surabaya. Lansia dan penyandang disabilitas, yang seharusnya jadi prioritas bantuan sosial (bansos), justru banyak yang dicoret dari daftar penerima.

Dengan alasan “sudah sejahtera” berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), mereka kehilangan jatah beras 10 kg, penopang hidup yang begitu krusial. Bagaimana kebijakan yang seharusnya melindungi malah menyisihkan kelompok paling rentan? Refleksi kemerdekaan ini, mari kita tanya: di mana keadilan untuk mereka.

Pencoretan Bansos: Ketidakadilan di Balik Data

Bansos beras adalah peyelamat bagi ribuan keluarga miskin di Surabaya, termasuk lansia tunggal dan penyandang disabilitas yang tak punya penghasilan tetap. Namun, pada 2025, banyak warga mendapati nama mereka hilang dari daftar penerima.

Alasannya sering tak jelas, hanya stempel “sejahtera” berdasarkan desil 5-10 di DTKS. Padahal, realitasnya jauh dari kata mampu: lansia hidup sendiri dengan biaya medis tinggi, penyandang disabilitas berat tak bisa bekerja, dan harga kebutuhan pokok terus naik.

Kementerian Sosial mencatat sekitar 2 juta penerima bansos dicoret secara nasional pada 2025, termasuk karena ketidaksesuaian data KK, tumpang tindih bantuan, atau verifikasi kelurahan yang subjektif. Di Surabaya, yang pernah menyalurkan bansos beras untuk 160.286 keluarga pada 2023, cleansing data DTKS makin ketat apalagi di tahun 2025.

Seorang lansia penyandang disabilitas tuna wicara di Surabaya Pusat – yang kebetulan penulis adalah seorang Ketua RT – kehilangan bansos karena dianggap sejahtera, dan ia sendiri tak punya penghasilan.

Meski penulis sempat klarifikasi terkait data yang menyatakan sejahtera, untuk di validasi kembali melalui cek fisik di lapangan. Faktanya tetap tercoret sebagai penerima manfaat.

Transparansi dan Verifikasi yang Kurang

Pencoretan bansos beras di Surabaya sering berdasarkan desil DTKS, yang membagi penduduk jadi 10 kelompok kesejahteraan. Desil 1-4 (miskin dan rentan miskin) seharusnya prioritas, tapi banyak lansia dan disabilitas “naik” ke desil 5 karena data keluarga atau aset rumah tangga dianggap mampu.

Data yang seharusnya memverifikasi kondisi riil, kadang berjalan asal-asalan. Yang menjadi pertanyaan: atas dasar apa pecoretan tersebut? Berbasis apa?. Bahkan, menurut penulis patut diduga pencoretan berdasarkan cap cip cup kembang kuncup, bonda bandi ketiban dadi.

Tak hanya itu, cerita lansia di Semarang yang kehilangan bansos karena dianggap “sejahtera”, padahal hidup sebatang kara. Ternyata cerita serupa bergema di Surabaya, menunjukkan data DTKS tak selalu mencerminkan kenyataan.

Wakil Menteri Sosial Agus Jabo menegaskan lansia di atas 70 tahun dan penyandang disabilitas berat tetap prioritas, dengan bansos seperti PKH Rp600 ribu per tahap atau bantuan pangan. Tapi, kalau kuota terbatas (hanya 100 ribu lansia dan 33 ribu disabilitas nasional), banyak yang terlewat. Kurangnya sosialisasi tentang cara cek status DTKS atau mengajukan keberatan bikin warga bingung.

Dampak pada Kelompok Rentan

Kehilangan bansos beras bukan cuma soal beras 20 kg, tapi soal dapur yang mati. Bagi lansia dan penyandang disabilitas, yang sering tak punya tabungan atau keluarga pendukung, ini adalah pukulan berat. Di tengah inflasi dan biaya hidup yang melonjak, pencoretan ini terasa seperti pengkhianatan terhadap janji “Rakyat Sejahtera” di HUT ke-80 RI.

Banyak media sosial ramai dengan keluhan warga yang menyoroti ketidakadilan ketika bansos tak sampai ke tangan yang tepat. Isu ini jadi bahan gunjingan warga Surabaya, dari warung kopi sampai grup WhatsApp RT, karena menyentuh hajat hidup dasar.

(Penulis Hari Agung Bendahara dari Barikade 98 Jawa Timur)