Ketua Komisi A: Pengajuan KTP Menggunakan Domisili Rumah Ibadah Tidak Dibenarkan

Ketua Komisi A: Pengajuan KTP Menggunakan Domisili Rumah Ibadah Tidak Dibenarkan

Surabaya, newrespublika – Marak pengajuan KTP dengan menggunakan alamat rumah ibadah di Surabaya menjadi sorotan tajam Komisi A DPRD Kota Surabaya.

Terkait hal ini Ketua Komisi A, Yona Bagus Widyatmoko mengatakan, Yona Bagus Widyatmoko mengatakan, fenomena ini tidak sesuai aturan dan berpotensi melanggar ketentuan administrasi kependudukan.

“ Kami prihatin terkait maraknya praktik pengajuan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan menggunakan alamat rumah ibadah sebagai domisili,” ujar Yona Bagus Widyatmoko di Surabaya, Kamis (15/05/2025).

Yona menyebut, sejumlah warga pendatang diketahui mencantumkan alamat gereja atau masjid dalam pembuatan KTP. Ia menduga adanya intervensi dari pihak eksternal yang mendorong agar permohonan semacam ini tetap diproses oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil).

“Ada intervensi dari pihak luar yang meminta bantuan untuk pengurusan KTP menggunakan alamat rumah ibadah. Ini tidak bisa dibenarkan, kecuali bagi orang-orang tertentu dengan fungsi khusus seperti pendeta atau marbot,” ungkap politisi Gerindra Surabaya ini.

Yona menegaskan, praktik tersebut dikhawatirkan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi seperti pendidikan, pekerjaan, hingga akses layanan publik. Ia mengingatkan bahwa penggunaan alamat fiktif atau tidak sah sebagai domisili merupakan bentuk pemalsuan data.

“Jika jumlahnya cukup banyak, ini jelas tidak masuk akal dan melanggar aturan. Tidak boleh sistem administrasi disiasati demi kepentingan tertentu,” tegasnya.
Dirinya juga menyinggung Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 yang sering dijadikan rujukan. Ia menegaskan bahwa regulasi tersebut hanya mengatur soal pendirian rumah ibadah dan keberadaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), bukan penggunaan rumah ibadah sebagai alamat domisili.

“Dalam PBM tersebut tidak ada aturan yang membolehkan rumah ibadah digunakan sebagai alamat KTP. Jadi, dasar hukumnya tidak ada,” jelasnya.

Ia mencurigai bahwa sebagian besar pemohon dengan alamat rumah ibadah merupakan pendatang dari luar Surabaya yang tidak memiliki alamat tetap, sehingga memilih menggunakan tempat ibadah sebagai domisili alternatif.

“Contohnya, warga dari Indonesia Timur, kawasan Tapal Kuda, atau daerah lain yang tinggal di Surabaya tanpa alamat resmi. Akhirnya, mereka mencantumkan alamat gereja atau masjid,” lanjutnya.

Meski demikian, Yona mengakui bahwa tidak semua kasus dapat digeneralisasi. Ia menyatakan bahwa individu yang memang tinggal dan bertugas di rumah ibadah masih memungkinkan untuk menggunakan alamat tersebut secara sah.

“Jika benar-benar tinggal dan menjalankan tugas, seperti pendeta, takmir, atau marbot, maka itu masih bisa diterima. Biasanya mereka juga disediakan mess atau ruang tinggal di lokasi,” tambahnya.

Yona meminta agar Dispendukcapil bersikap tegas dalam menangani pengajuan semacam ini dan tidak tunduk pada tekanan dari pihak luar. Ia juga mendorong penyusunan regulasi yang lebih tegas untuk menghindari penyalahgunaan sistem kependudukan.

“Ini bukan persoalan SARA, melainkan soal ketertiban administrasi dan etika dalam kependudukan. Jangan sampai rumah ibadah dijadikan alat manipulasi data,” pungkasnya. (trs)