Pemkot Surabaya Jangan Tutup Mata, Dolly dan Morsen Diduga Beroperasi Tersembunyi

Surabaya, Respublika – Pemkot Surabaya diminta jangan tutup mata atas kembali beroperasinya eks sentra esek-esek terbesar di Surabaya yaitu, Dolly dan Morsen (Moroseneng) secara sembunyi-sembunyi.

Fakta menunjukkan saat salah satu Anggota DPRD Kota Surabaya diam-diam melakukan investigasi ke sentra birahi pasca bayar esek-esek di dua tempat yaitu, Dolly dan Morsen.

“Dolly dan Morsen (Moroseneng) buka lagi? Pertanyaan ini saya terima dari beberapa teman setelah mereka mendapat informasi dari mulut ke mulut secara terbatas. Saya pun eager (amat ingin tau) untuk turun langsung ke bekas tempat lokasi pelacuran terkenal di Surabaya tersebut,” ujar Imam Syafi’i, Anggota Komisi A DPRD Kota Surabaya dalam link artikelnya yang diterima redaksi Respublika.my.id, Minggu malam (03/06/22).

Ia menambahkan, saya harap kabar bukanya Dolly dan Morsen tidak benar alias hoax. Maklum Pemkot Surabaya sudah menggelontorkan dana sangat besar. Pemkot membeli belasan bahkan puluhan rumah yang sebelumnya dijadikan bisnis “esek-esek.

Kader potensial Partai Nasdem Surabaya ini menjelaskan, lalu rumah-rumah maksiat itu disulap menjadi taman, rumah baca, tempat budidaya anggrek, hingga sentra produk UMKM. Bahkan yang paling gres di Sememi Jaya, sangat dekat Morsen,  juga didirikan rumah padat karya untuk warga MBR (masyarakat berpenghasilan rendah). Yaitu tempat cuci motor dan mobil.

“Setelah melakukan investigasi ke lapangan, ternyata kabar bukanya lagi Dolly dan Morsen bukan isapan jempol. Di Dolly saya temukan 10 wisma beroperasi lagi. Modusnya wisma digembok dari luar. Gembok dibuka jika makelar di depan rumah membawa masuk laki-laki hidung belang yang ingin jajan kue cinta instan di dalamnya. Tamu wisma bisa pilih cewek-cewek yang di-display di showroom. Harganya Rp 180 ribu dan Rp 200 ribu,” tutur Imam Syafi’i.

Dirinya kembali menambahkan, di Dolly agak beda. Saya memergoki  cafe dipakai untuk prosititusi. Tidak jauh dari mulut gang Dolly. Di pinggir jalan utama.Tidak ada ruang pamer gadis-gadis penjaja cinta duduk berderet di sofa. Seperti di Morsen.

Sebagai gantinya, jelas mantan wartawan media terkemuka di Surabaya ini, agar bisnis haram ini tidak terendus petugas keamanan, makelar menunjukkan foto sejumlah gadis di handphone. Terlihat masih muda dan cantik-cantik. Jika deal, gadis-gadis tersebut dijemput dari tempat kos mereka. Tidak jauh dari cafe yang buka hingga jam 4 subuh itu.

“Lho kok gak sama dengan yang difoto. Wajahnya lebih tua dan badannya agak gemuk,” protes dua laki-laki setelah si makelar membawa masuk dua gadis ke cafe. Sebelum naik ke loteng dengan tarif Rp 300 ribu.

Saya sudah menyampaikan temuan ini. Yaitu saat rapat Komisi A (hukum dan pemerintahan) DPRD Surabaya dengan 31 Camat. Lalu beberapa hari kemudian dengan 154 lurah se-Surabaya.

“Semoga ada upaya dari pemkot mengatasi persoalan sosial dan dosa besar ini. Tidak hanya melarang gadis-gadis itu bermaksiat. Tapi juga dicarikan solusi yang manusiawi. Agar mereka tidak terus menerus ke jalan sesat dan menyesatkan tersebut,” pungkas Imam Syafi’i. (trs)